Apabila seorang hamba berdiri dalam shalat, maka Setan cemburu kepadanya. Karena, dia sedang berdiri di tempat yang paling agung dan paling dekat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini adalah paling dibenci oleh Setan. Setan sangat berambisi dan bersungguh-sungguh agar hamba tidak melaksanakannya. Bahkan, terus memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan kosong, melalaikannya, sehingga menganggap ringan perkara shalat, kemudian hamba pun meremehkannya lantas meninggalkannya. Musuh Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini memberikan bisikan antara dirinya dengan nafsunya serta menghalangi antara dirinya dan hatinya, lalu mengingatkan dalam shalatnya apa yang tidak diingatnya sebelum memasuki shalatnya. Bahkan, mungkin seorang hamba telah melupakan sesuatu dan suatu keperluan serta telah terputus darinya, kemudian Setan mengingatkan hal itu kepadanya, agar hatinya sibuk dengannya dan melalaikannya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga dia pun melaksanakan tanpa kehadiran hati. Shalat itu hanya akan menghapuskan kesalahan-kesalahan dari seseorang yang menunaikan hak-hak shalat, menyempurnakan khusyu’nya, serta berdiri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan hati dan raganya.
Seseorang yang khusyu’ dalam shalatnya, ketika dia selesai dari shalatnya, menemukan keringanan dari dirinya dan merasakan telah diangkatnya berbagai beban darinya. Sehingga, dia mendapatkan semangat, ketenangan, dan kebahagiaan. Dia pun berharap tidak pernah keluar dari shalatnya. Karena, shalat sebagai penghibur bagi dirinya, kenikmatan bagi ruhnya, surga bagi hatinya, dan saat istirahatnya di dunia. Seorang hamba yang mencintai dan dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan : “ Kami melaksanakan shalat, maka kami terhibur dengan shalat. “ Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, yang artinya : “ Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat. “
Beliau tidak mengatakan, “ Istirahatkanlah kami darinya. “
Beliau juga bersabda, yang artinya : “ Kesenanganku dijadikan di dalam shalat. ”
Shalatnya orang yang menghadirkan hatinya ini – yang kesenangannya terletak dalam shalat - , maka shalatnya itu yang akan naik serta memiliki cahaya dan bukti sehingga Allah Ar-Rahman akan menyambutnya. Adapun, shalatnya orang yang menyia-nyiakan hak-hak, ketentuan-ketentuan, dan kekhusyu’annya, maka shalat tersebut akan dilipat seperti dilipatnya pakaian yang telah usang dan dilemparkan kepada wajah pelakunya. PADAHAL BUKAN KHUSYU’ Di antara perbuatan yang dianggap termasuk dari khusyu’ padahal sama sekali bukan khusyu’, adalah :
Khusyu’ Munafik Yaitu anggota badan yang tampak tunduk dan tenang padahal hakikatnya lalai serta jauh dari khusyu’. Shahabat yang mulia Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “ Jauhilah khusyu’ munafik. ” Seseorang bertanya kepada beliau : “ Apakah khusyu’ munafik itu? ” Hudzaifah Radhiyallahu ‘Anhu menjawab : “ (Yaitu) engkau melihat (anggota) badan yang (seolah-olah) khusyu’, padahal hatinya tidak khusyu’. “
Inilah makna ucapan Amirul Mu’minin ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu ketika melihat seorang pemuda yang tertunduk kepalanya : “ Wahai pemuda, angkatlah kepalamu, karena sesungguhnya khusyu’ itu tidak lebih dari apa yang ada di dalam hati. “
Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha melihat beberapa orang pemuda yang tampak lemas ketika berjalan, maka beliau bertanya : “ Siapakah mereka itu? ” Orang-orang menjawab, “ Mereka itu adalah ahli ibadah. “ Maka, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata : “ Dahulu, ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu kalau berjalan (langkahnya) cepat, kalau berbicara (suaranya) keras, kalau memukul (pukulannya) menyakitkan, dan kalau memberi makan mengenyangkan, padahal beliau itu adalah ahli ibadah yang sejati. “
Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah menerangkan : “ Barangsiapa yang menampakkan (seolah-olah) khusyu’ (padahal) berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya, maka itu tidak lain adalah kemunafikan di atas kemunafikan. “
Khusyu’ tanpa bisikan, was-was, dan godaan Setan dalam hati Ibadah yang dilakukan dengan khusyu’ tanpa adanya bisikan, was-was, dan godaan Setan dalam hati merupakan persangkaan yang keliru, karena Iblis dan bala tentaranya tidak berhenti atau libur untuk menggoda serta berusaha menghalangi manusia dari jalan kebaikan, apalagi kebaikan besar yang mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yaitu beribadah dengan khusyu’.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyampaikan ucapan dan tekad Iblis untuk memalingkan manusia dari semua jalan kebaikan dengan firman-Nya, yang artinya : “ Iblis berkata, “ Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan, Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). “ (QS Al-A’raaf (7) : 16-17). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Sesungguhnya Setan (Iblis) akan selalu duduk (menghalangi) manusia pada semua jalan (kebaikan yang akan ditempuhnya). “
Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyatakan : “ Tidak ada satu jalan kebaikan pun kecuali Setan selalu menghadang untuk menghalangi orang yang ingin mengerjakannya. “
Bahkan, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan tentang adanya setan yang bertugas untuk menggoda manusia dalam shalatnya. Shahabat yang mulia ‘Utsman bin Abi ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhu bertanya : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya Setan menghalangiku (menggodaku) dalam shalat dan mengacaukan bacaanku. “ Maka, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Itu adalah Setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakan (godaannya), maka berlindunglah kepada Allah darinya dan hembuskanlah sedikit ludahmu ke (arah) kiri tiga kali. “ ‘Utsman bin Abi ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “ Lalu aku mempraktekkan petunjuk Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut, maka Allah menghilangkan godaan Setan itu dariku. “
Karena itu, upaya Setan untuk selalu menggoda seorang hamba agar jauh dari sifat khusyu’ dalam ibadahnya tentu besar sekali. Semakin besar pahala dan keutamaan suatu amal kebaikan, maka semakin besar pula usaha Setan untuk menghalangi manusia darinya. Manakala seseorang menyangka bahwa ketika beribadah tidak diganggu Setan, justru menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan, apakah memang hatinya sedemikian parah kerusakannya sehingga Setan tidak merasa perlu untuk menggodanya. Karena, apabila imannya benar dan hatinya khusyu’, bagaimana mungkin Setan akan membiarkannya dan tidak berusaha untuk merusak kekhusyu’annya. Boleh jadi, semua itu justru merupakan bukti nyata tentang kuatnya kedudukan dan tipu daya Setan bersarang dalam dirinya.
Bagaimana mungkin Setan akan membiarkannya merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya. Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah membuat perumpamaan hal ini dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang lain. Manakah yang selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut, rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak? Jawabannya, rumah pertama yang akan ditujunya, karena bisa dicuri harta bendanya. Adapun, rumah kedua aman dari gangguannya karena tidak ada hartanya bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang cocok sebagai tempat tinggal dan sarangnya.
Demikianlah, hati yang dipenuhi tauhid , keimanan yang kokoh dan selalu khusyu’ kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan selalu diintai serta digoda Setan untuk dicuri keimanannya dan dirusak kekhusyu’annya, sebagaimana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri. Seorang Shahabat Radhiyallahu ‘Anhu bertanya kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya membisikkan (dalam) diri saya dengan sesuatu (yang buruk dari godaan Setan), yang sungguh jika jatuh dari langit (ke bumi) lebih saya sukai daripada mengucapkan (melakukan) keburukan tersebut. “ Maka, beliau bersabda, yang artinya : “ Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya Setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa). “ Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Itu tanda (kemurnian) iman. ”
Dalam memahami hadits yang mulia ini ada pendapat dari Ulama. Pertama, penolakan dan kebencian seseorang terhadap keburukan yang dibisikkan oleh Setan merupakan tanda kemurnian iman dalam hatinya. Kedua, adanya godaan dan bisikan Setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena Setan ingin merusak iman seseorang dengan godaannya.
Adapun , hati yang rusak dan jauh dari sifat khusyu’ pada saat beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala , terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan Setan. Karena, hati yang gelap ini telah dikuasai Setan dan tidak mungkin “ pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri ”. Inilah makna dari ucapan Shahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas Rahdiyallahu ‘Anhuma ketika ada yang mengatakan kepada beliau : “ Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (Setan) dalam ritual ibadah mereka. “ Maka, beliau menjawab : “ Apa yang dikerjakan oleh Setan pada hati yang telah hancur berantakan. “
Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengajak kepada orang-orang yang beriman untuk meraih sifat khusyu’ dengan mempelajari dan memahami petunjuknya. Bukankah Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya : “ Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyu’ (tunduk) hati mereka kepada peringatan dari Allah (Al-Qur’an) dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepada mereka kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan, kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. “ (QS Al-Hadiid (57) : 16) Ayat yang mulia ini memberikan dorongan bagi orang-orang yang beriman untuk bersungguh-sungguh meraih sifat khusyu’ dalam hati, sekaligus merupakan celaan bagi orang-orang yang tidak mau tunduk hatinya ketika membaca, mendengarkan, dan merenungkan isi ayat-ayat Al-Qur’an.
Kalau hati manusia tidak juga mau berubah dan tunduk ketika membaca serta merenungkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka kapan lagi hatinya akan tunduk dan menjadi baik.
Hifni Nashif Umar Chottob
Sumber Rujukan :
- Al-Khusyu’ wa Atsaruhu fi Binail Ummah : Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
- Meraih Khusyu’ dalam Beribadah Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala : Al-Ustadz Abdullah bin Taslim, MA (1) Shahih : HR Abu Dawud : 2/719, Ahmad : 5/364, dinyatakan shahih oleh Al-Albani (2) Shahih Al-Wabilush Shayyib : halaman 47 (3) Shahih : HR Ahmad : 3/128, An-Nasai : 7/61, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dinyatakan shahih oleh Al-Albani (4) Madarijus Salikin : 1/521, Al-Khusyu’ fish Shalah : halaman 14 (5) Al-Khusyu’ fish Shalah : halaman 14 (6) Madarijus Salikin : 1/521 (7) Al-Khusyu’ Fish Shalah : halaman 14 (8) Shahih : HR Ahmad 3/483, An-Nasai : 6/21, Ibnu Hibban : 10 /453, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Albani (9) Ighatsatul Lahfan : 1/102 (10) Shahih : HR Muslim : 2203 (11) Al-Wabilush Shayyib : halaman 40-41 (12) HR Ahmad : 1/235, Abu Dawud : 5112 (13) Shahih : HR Muslim : 132 (14) Al-Fawaid : halaman 174 (15) Al-Wabilush Shayyib : halaman 41 (16) Al-Khusyu’ fish Shalah : halaman 18, Taisirul Karimir Rahman : halaman 840
Tidak ada komentar:
Write komentar