Kamis, 12 November 2015

Syarat Menasihati Orang Lain Harus Bersih dari Dosa (Maksum)












Benarkah demikian syarat menasihati orang lain atau syarat amar makruf nahi mungkar adalah harus bersih dari dosa alias maksum?

Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,
فلا بد للإنسان من الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر و الوعظ و التذكير و لو لم يعظ إلا معصوم من الزلل لم يعظ الناس بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم أحد لأنه لا عصمة لأحد بعده
“Tetap bagi setiap orang untuk mengajak yang lain pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Tetap ada saling menasihati dan saling mengingatkan. Seandainya yang mengingatkan hanyalah orang yang maksum (yang bersih dari dosa, pen.), tentu tidak ada lagi yang bisa memberi nasihat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada lagi yang maksum.”
Dalam bait sya’ir disebutkan,
لئن لم يعظ العاصين من هو مذنب … فمن يعظ العاصين بعد محمد
“Jika orang yang berbuat dosa tidak boleh memberi nasihat pada yang berbuat maksiat, maka siapa tah lagi yang boleh memberikan nasihat setelah (Nabi) Muhammad (wafat)?”
Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanad yang dha’if, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مروا بالمعروف و إن لم تعملوا به كله و انهوا عن المنكر و إن لم تتناهوا عنه كله
“Perintahkanlah pada yang makruf (kebaikan), walau engkau tidak mengamalkan semuanya. Laranglah dari kemungkaran walau engkau tidak bisa jauhi semua larangan yang ada.”
Ada yang berkata pada Al-Hasan Al-Bashri,
إن فلانا لا يعظ و يقول : أخاف أن أقول مالا أفعل فقال الحسن : و أينا يفعل ما يقول ود الشيطان أنه ظفر بهذا فلم يأمر أحد بمعروف و لم ينه عن منكر
“Sesungguhnya ada seseorang yang enggan memberi nasihat dan ia mengatakan, “Aku takut berkata sedangkan aku tidak mengamalkannya.” Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Apa ada yang mengamalkan setiap yang ia ucapkan?” Sesungguhnya setan itu suka manusia jadi seperti itu. Akhirnya, mereka enggan mengajak yang lain dalam perkara yang makruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran.
Malik berkata dari Rabi’ah bahwasanya Sa’id bin Jubair berkata,
لو كان المرء لا يأمر بالمعروف و لا ينهى عن المنكر حتى لا يكون فيه شيء ما أمر أحد بمعروف و لا نهى عن منكر قال مالك : و صدق و من ذا الذي ليس فيه شيء
“Seandainya seseorang tidak boleh beramar makruf nahi mungkar (saling mengingatkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, pen.) kecuali setelah bersih dari dosa, tentu ada yang pantas untuk amar makruf nahi mungkar.” Malik lantas berkata, “Iya betul. Siapa yang mengaku bersih dari dosa?”
Dalam bait sya’ir disebutkan,
من ذا الذي ما ساء قط … و من له الحسنى فقط
“Siapa yang berani mengaku telah bersih dari dosa sama sekali. Siapa yang mengaku dalam dirinya terdapat kebaikan saja (tanpa ada dosa, pen.)?”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkhutbah pada suatu hari. Ia menasihati,
إني لأقول هذه المقالة و ما أعلم عند أحد من الذنوب أكثر مما أعلم عندي فاستغفر الله و أتوب إليه
“Sungguh aku berkata dan aku lebih tahu bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki dosa lebih banyak dari yang aku tahu ada pada diriku. Karenanya aku memohon ampun pada Allah dan bertaubat pada-Nya.”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz juga pernah menuliskan surat berisi nasihat pada beberapa wakilnya yang ada di berbagai kota:
“Aku beri nasihat seperti ini. Padahal aku sendiri telah melampaui batas terhadap diriku dan pernah berbuat salah. Seandainya seseorang tidak boleh menasihati saudaranya sampai dirinya bersih dari kesalahan, maka tentu semua akan merasa dirinya telah baik (karena tak ada yang menasihati, pen.). Jika disyaratkan harus bersih dari kesalahan, berarti hilanglah amar makruf nahi mungkar. Jadinya, yang haram dihalalkan. Sehingga berkuranglah orang yang memberi nasihat di muka bumi. Setan pun akhirnya senang jika tidak ada yang beramar makruf nahi mungkar sama sekali. Sebaliknya jika ada yang saling menasihati dalam kebaikan dan melarang dari kemungkaran, setan akan menyalahkannya. Setan menggodanya dengan berkata, kenapa engkau memberi nasihat pada orang lain, padahal dirimu sendiri belum baik.”
Demikian penjelasan menarik dari Ibnu Rajab dalam Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 42-43.
Penjelasan di atas bukan berarti kita boleh tetap terus dalam maksiat. Maksiat tetaplah ditinggalkan. Pemaparan Ibnu Rajab hanya ingin menekankan bahwa jangan sampai patah semangat dalam menasihati orang lain walau diri kita belum baik atau belum sempurna. Yang penting kita mau terus memperbaiki diri.
Tetap saja yang lebih baik adalah ilmu itu diamalkan, baru didakwahi. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash- Shaff: 2-3).
Pokoknya jangan sampai melupakan diri sendiri. Ingatlah kembali ayat,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44).
Baca artikel menarik di Rumaysho.Com sebagai pelengkap materi di atas:
Wallahu waliyyut taufiq. Semoga Allah memudahkan kita dalam meraih ilmu, mengamalkannya dan dimudahkan pula dalam mendakwahi orang-orang terdekat kita dan masyarakat secara umum.

di kutip dari website :http://rumaysho.com/ dengan sedikit penambahan content.

semoga bermanfaat...

artikel-artikel salaf

jika anda ingin  cari artikel yang bermanfaat silahkan kunjungi situs dibawah ini.isi nya masya allah sangat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita.
kunjungi situs tersebut dengan cara klik disini

Selasa, 10 November 2015

SALAH PAHAM TENTANG KHUSYU’



Apabila seorang hamba berdiri dalam shalat, maka Setan cemburu kepadanya. Karena, dia sedang berdiri di tempat yang paling agung dan paling dekat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini adalah paling dibenci oleh Setan. Setan sangat berambisi dan bersungguh-sungguh agar hamba tidak melaksanakannya. Bahkan, terus memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan kosong, melalaikannya, sehingga menganggap ringan perkara shalat, kemudian hamba pun meremehkannya lantas meninggalkannya. Musuh Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini memberikan bisikan antara dirinya dengan nafsunya serta menghalangi antara dirinya dan hatinya, lalu mengingatkan dalam shalatnya apa yang tidak diingatnya sebelum memasuki shalatnya. Bahkan, mungkin seorang hamba telah melupakan sesuatu dan suatu keperluan serta telah terputus darinya, kemudian Setan mengingatkan hal itu kepadanya, agar hatinya sibuk dengannya dan melalaikannya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga dia pun melaksanakan tanpa kehadiran hati. Shalat itu hanya akan menghapuskan kesalahan-kesalahan dari seseorang yang menunaikan hak-hak shalat, menyempurnakan khusyu’nya, serta berdiri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan hati dan raganya.

Seseorang yang khusyu’ dalam shalatnya, ketika dia selesai dari shalatnya, menemukan keringanan dari dirinya dan merasakan telah diangkatnya berbagai beban darinya. Sehingga, dia mendapatkan semangat, ketenangan, dan kebahagiaan. Dia pun berharap tidak pernah keluar dari shalatnya. Karena, shalat sebagai penghibur bagi dirinya, kenikmatan bagi ruhnya, surga bagi hatinya, dan saat istirahatnya di dunia. Seorang hamba yang mencintai dan dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan : “ Kami melaksanakan shalat, maka kami terhibur dengan shalat. “ Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, yang artinya : “ Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat. “
Beliau tidak mengatakan, “ Istirahatkanlah kami darinya. “

Beliau juga bersabda, yang artinya : “ Kesenanganku dijadikan di dalam shalat. ”

Shalatnya orang yang menghadirkan hatinya ini – yang kesenangannya terletak dalam shalat - , maka shalatnya itu yang akan naik serta memiliki cahaya dan bukti sehingga Allah Ar-Rahman akan menyambutnya.  Adapun, shalatnya orang yang menyia-nyiakan hak-hak, ketentuan-ketentuan, dan kekhusyu’annya, maka shalat tersebut akan dilipat seperti dilipatnya pakaian yang telah usang dan dilemparkan kepada wajah pelakunya. PADAHAL BUKAN KHUSYU’ Di antara perbuatan yang dianggap termasuk dari khusyu’ padahal sama sekali bukan khusyu’, adalah :

Khusyu’ Munafik Yaitu anggota badan yang tampak tunduk dan tenang padahal hakikatnya lalai serta jauh dari khusyu’. Shahabat yang mulia Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “ Jauhilah khusyu’ munafik. ” Seseorang bertanya kepada beliau : “ Apakah khusyu’ munafik itu? ” Hudzaifah Radhiyallahu ‘Anhu menjawab : “ (Yaitu) engkau melihat (anggota) badan yang (seolah-olah) khusyu’, padahal hatinya tidak khusyu’. “

Inilah makna ucapan Amirul Mu’minin ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu ketika melihat seorang pemuda yang tertunduk kepalanya : “ Wahai pemuda, angkatlah kepalamu, karena sesungguhnya khusyu’ itu tidak lebih dari apa yang ada di dalam hati. “

Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha melihat beberapa orang pemuda yang tampak lemas ketika berjalan, maka beliau bertanya : “ Siapakah mereka itu? ” Orang-orang menjawab, “ Mereka itu adalah ahli ibadah. “ Maka, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata : “ Dahulu, ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu kalau berjalan (langkahnya) cepat, kalau berbicara (suaranya) keras, kalau memukul (pukulannya) menyakitkan, dan kalau memberi makan mengenyangkan, padahal beliau itu adalah ahli ibadah yang sejati. “

Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah menerangkan : “ Barangsiapa yang menampakkan (seolah-olah) khusyu’ (padahal) berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya, maka itu tidak lain adalah kemunafikan di atas kemunafikan. “

Khusyu’ tanpa bisikan, was-was, dan godaan Setan dalam hati Ibadah yang dilakukan dengan khusyu’ tanpa adanya bisikan, was-was, dan godaan Setan dalam hati merupakan persangkaan yang keliru, karena Iblis dan bala tentaranya tidak berhenti atau libur untuk menggoda serta berusaha menghalangi manusia dari jalan kebaikan, apalagi kebaikan besar yang mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yaitu beribadah dengan khusyu’.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyampaikan ucapan dan tekad Iblis untuk memalingkan manusia dari semua jalan kebaikan dengan firman-Nya, yang artinya : “ Iblis berkata, “ Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan, Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). “ (QS Al-A’raaf (7) : 16-17). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Sesungguhnya Setan (Iblis) akan selalu duduk (menghalangi) manusia pada semua jalan (kebaikan yang akan ditempuhnya). “

Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyatakan : “ Tidak ada satu jalan kebaikan pun kecuali Setan selalu menghadang untuk menghalangi orang yang ingin mengerjakannya. “

Bahkan, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan tentang adanya setan yang bertugas untuk menggoda manusia dalam shalatnya. Shahabat yang mulia ‘Utsman bin Abi ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhu bertanya : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya Setan menghalangiku (menggodaku) dalam shalat dan mengacaukan bacaanku. “ Maka, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Itu adalah Setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakan (godaannya), maka berlindunglah kepada Allah darinya dan hembuskanlah sedikit ludahmu ke (arah) kiri tiga kali. “ ‘Utsman bin Abi ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “ Lalu aku mempraktekkan petunjuk Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut, maka Allah menghilangkan godaan Setan itu dariku. “

Karena itu, upaya Setan untuk selalu menggoda seorang hamba agar jauh dari sifat khusyu’ dalam ibadahnya tentu besar sekali. Semakin besar pahala dan keutamaan suatu amal kebaikan, maka semakin besar pula usaha Setan untuk menghalangi manusia darinya. Manakala seseorang menyangka bahwa ketika beribadah tidak diganggu Setan, justru menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan, apakah memang hatinya sedemikian parah kerusakannya sehingga Setan tidak merasa perlu untuk menggodanya. Karena, apabila imannya benar dan hatinya khusyu’, bagaimana mungkin Setan akan membiarkannya dan tidak berusaha untuk merusak kekhusyu’annya. Boleh jadi, semua itu justru merupakan bukti nyata tentang kuatnya kedudukan dan tipu daya Setan bersarang dalam dirinya.

Bagaimana mungkin Setan akan membiarkannya merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya. Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah membuat perumpamaan hal ini dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang lain. Manakah yang selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut, rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak? Jawabannya, rumah pertama yang akan ditujunya, karena bisa dicuri harta bendanya. Adapun, rumah kedua aman dari gangguannya karena tidak ada hartanya bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang cocok sebagai tempat tinggal dan sarangnya.

Demikianlah, hati yang dipenuhi tauhid , keimanan yang kokoh dan selalu khusyu’ kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan selalu diintai serta digoda Setan untuk dicuri keimanannya dan dirusak kekhusyu’annya, sebagaimana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri. Seorang Shahabat Radhiyallahu ‘Anhu bertanya kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya membisikkan (dalam) diri saya dengan sesuatu (yang buruk dari godaan Setan), yang sungguh jika jatuh dari langit (ke bumi) lebih saya sukai daripada mengucapkan (melakukan) keburukan tersebut. “ Maka, beliau bersabda, yang artinya : “ Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya Setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa). “ Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Itu tanda (kemurnian) iman. ”

 Dalam memahami hadits yang mulia ini ada pendapat dari Ulama. Pertama, penolakan dan kebencian seseorang terhadap keburukan yang dibisikkan oleh Setan merupakan tanda kemurnian iman dalam hatinya. Kedua, adanya godaan dan bisikan Setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena Setan ingin merusak iman seseorang dengan godaannya.

Adapun , hati yang rusak dan jauh dari sifat khusyu’ pada saat beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala , terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan Setan. Karena, hati yang gelap ini telah dikuasai Setan dan tidak mungkin “ pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri ”. Inilah makna dari ucapan Shahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas Rahdiyallahu ‘Anhuma ketika ada yang mengatakan kepada beliau : “ Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (Setan) dalam ritual ibadah mereka. “ Maka, beliau menjawab : “ Apa yang dikerjakan oleh Setan pada hati yang telah hancur berantakan. “

Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengajak kepada orang-orang yang beriman untuk meraih sifat khusyu’ dengan mempelajari dan memahami petunjuknya. Bukankah Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya : “ Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyu’ (tunduk) hati mereka kepada peringatan dari Allah (Al-Qur’an) dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepada mereka kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan, kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. “ (QS Al-Hadiid (57) : 16) Ayat yang mulia ini memberikan dorongan bagi orang-orang yang beriman untuk bersungguh-sungguh meraih sifat khusyu’ dalam hati, sekaligus merupakan celaan bagi orang-orang yang tidak mau tunduk hatinya ketika membaca, mendengarkan, dan merenungkan isi ayat-ayat Al-Qur’an.

Kalau hati manusia tidak juga mau berubah dan tunduk ketika membaca serta merenungkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka kapan lagi hatinya akan tunduk dan menjadi baik.

Hifni Nashif Umar Chottob

Sumber Rujukan :
- Al-Khusyu’ wa Atsaruhu fi Binail Ummah : Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
- Meraih Khusyu’ dalam Beribadah Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala : Al-Ustadz Abdullah bin Taslim, MA (1) Shahih : HR Abu Dawud : 2/719, Ahmad : 5/364, dinyatakan shahih oleh Al-Albani (2) Shahih Al-Wabilush Shayyib : halaman 47 (3) Shahih : HR Ahmad : 3/128, An-Nasai : 7/61, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dinyatakan shahih oleh Al-Albani (4) Madarijus Salikin : 1/521, Al-Khusyu’ fish Shalah : halaman 14 (5) Al-Khusyu’ fish Shalah : halaman 14 (6) Madarijus Salikin : 1/521 (7) Al-Khusyu’ Fish Shalah : halaman 14 (8) Shahih : HR Ahmad 3/483, An-Nasai : 6/21, Ibnu Hibban : 10 /453, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Albani (9) Ighatsatul Lahfan : 1/102 (10) Shahih : HR Muslim : 2203 (11) Al-Wabilush Shayyib : halaman 40-41 (12) HR Ahmad : 1/235, Abu Dawud : 5112 (13) Shahih : HR Muslim : 132 (14) Al-Fawaid : halaman 174 (15) Al-Wabilush Shayyib : halaman 41 (16) Al-Khusyu’ fish Shalah : halaman 18, Taisirul Karimir Rahman : halaman 840

FIKIH QURBAN





Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada sejak manusia ada. Ketika putra-putra Nabi Adam Alaihis Salam  diperintahkan berqurban. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan serta menolak qurban yang buruk. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya : “ Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa. ” (QS Al-Maaidah (5) : 27).

Definisi Qurban

Kata qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri, sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Arti ini dikenal dalam istilah Islam sebagai udh-hiyah. Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Idul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala  karena datangnya hari raya tersebut. (1)

Hukum Qurban

Hukum qurban menurut Jumhur Ulama adalah sunnah muaqqadah (sunnah yang ditekankan), sedangkan menurut Mazhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman, yang artinya : “ Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah. ” (QS Al-Kautsar (108) : 2).

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami. ” (2)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan : “ Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat daripada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Tetapi, hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (3)

Binatang yang Boleh Diqurbankan

Adapun binatang yang boleh digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak (Al-An’aam), yaitu : unta, sapi, dan kambing, jantan atau betina. Sedangkan, binatang selain itu seperti burung, ayam, dan lainnya tidak boleh dijadikan binatang qurban. Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman, yang artinya :  “ Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka. ” (QS Al-Hajj (22) : 34)

Kambing untuk satu orang, boleh juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menyembelih dua kambing, satu untuk beliau dan keluarganya serta satu lagi untuk beliau dan umatnya. Sedangkan, unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang, baik dalam satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Shahabat yang mulia Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘Anhuma berkata : “ Kami berqurban bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang. ” (4)

Binatang yang akan diqurbankan hendaknya yang paling baik, cukup umur, dan tidak boleh cacat. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Empat macam binatang yang tidak sah dijadikan qurban : 1. Cacat matanya, 2. sakit, 3. Pincang, dan 4. kurus yang tidak berlemak lagi “ (5). Hadits lain yang artinya : “ Janganlah kamu menyembelih binatang ternak untuk qurban kecuali musinnah (telah ganti gigi, kupak). Jika sukar didapati, maka boleh jadz’ah (berumur 1 tahun lebih) dari domba.” (6) Musinnah adalah jika pada unta sudah berumur 5 tahun, sapi umur dua tahun dan kambing umur 1 tahun, domba dari 6 bulan sampai 1 tahun. Dibolehkan berqurban dengan hewan kurban yang mandul, bahkan Rasulullah  berqurban dengan dua domba yang mandul. Biasanya dagingnya lebih enak dan lebih gemuk.

Waktu Penyembelihan Qurban

Para Ulama bersepakat, bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar pada hari Idul Adha. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Id, maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan, barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat, maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum Muslimin.” (7)

Madzhab Syafi’i dan sebagian Madzhab Hanbali juga diikuti oleh Syaikhul Islam berpendapat, bahwa waktu penyembelihan adalah empat hari, Hari Raya ‘Idul Adha, dan tiga Hari Tasyriq. Berakhirnya Hari Tasyriq ditandai dengan tenggelamnya matahari. Pendapat ini mengikuti Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang artinya : “ Semua Hari Tasyriq adalah hari penyembelihan. ” (8)

Tata Cara Penyembelihan
  • Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
  • Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri, maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
  • Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
  • Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus urat lehernya.
  • Ketika akan menyembelih, disyari’akan membaca بِسْمِ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ (Bismillaahi wallaahu akbar) ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar-Rahman dan Ar-Rahiim) hukumnya wajib menurut Al-Imam Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad Rahimahumullah. Sedangkan, menurut Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah hukumnya sunnah. Adapun, bacaan takbir – Allahu akbar – para Ulama sepakat, bahwa hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
    • هَذَا ِمنْكَ وَ لَكَ  “ hadza minka wa laka.” (9)
    • Atau “ hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan. “ (disebutkan nama orang yang berqurban).”
·         Berdoa agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima qurbannya dengan doa, “ Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama orang yang berqurban). ” dan tidak terdapat doa khusus yang panjang bagi orang yang berqurban ketika hendak menyembelih.

Larangan Bagi yang Hendak Berqurban

Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Apabila kalian telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah), sedangkan di antara kalian ingin berqurban, maka janganlah dia menyentuh sedikit pun bagian dari rambut dan kulitnya. ” (10)  Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian mana pun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan, maupun di ketiak. (11)

Pembagian Daging Qurban

Orang yang berqurban boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya : “ Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS Al-Hajj (22) : 36).

Dalam hal pembagian disunnahkan untuk dibagi menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk dimakan dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk tetangga dan teman, serta sepertiga yang lainnya untuk fakir miskin dan orang yang minta-minta. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Sepertiga untuk memberi makan keluarganya, sepertiga untuk para tetangga yang fakir miskin, dan sepertiga untuk disedekahkan kepada yang meminta-minta. ” (12)

Hukum Menjual Bagian Qurban

Orang yang berqurban tidak boleh menjual sedikit pun hal-hal yang terkait dengan hewan qurban seperti, kulit, daging, susu, dan lainnya dengan uang yang menyebabkan hilangnya manfaat barang tersebut. Jumhur Ulama menyatakan hukumnya makruh mendekati haram. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya : “ Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (13)

Kecuali dihadiahkan kepada fakir-miskin atau dimanfaatkan, maka dibolehkan. Menurut Mazhab Hanafi kulit hewan qurban boleh dijual dan uangnya disedekahkan. Kemudian uang tersebut dibelikan sesuatu yang bermanfaat bagi kebutuhan rumah tangga.

Hukum Memberi Upah Tukang Jagal Qurban

Sesuatu yang dianggap makruh mendekati haram juga memberi upah tukang jagal dari hewan qurban. Sesuai dengan hadits dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu : “ Rasulullah  memerintahkanku untuk menjadi panitia qurban (unta) serta membagikan kulit dan dagingnya. Dan memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi tukang jagal sedikit pun. ” Ali berkata : ” Kami memberi dari uang kami. ” (14)

Hukum Berqurban Atas Nama Orang yang Meninggal

Berqurban atas nama orang yang meninggal, jika orang yang meninggal tersebut berwasiat atau wakaf, maka para Ulama sepakat membolehkan. Jika dalam bentuk nadzar, maka ahli waris berkewajiban melaksanakannya. Tetapi, jika tanpa wasiat dan keluarganya ingin melakukan dengan hartanya sendiri, maka menurut Jumhur Ulama seperti Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali membolehkannya. Sesuai dengan yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menyembelih dua kambing yang pertama untuk dirinya dan yang kedua untuk orang yang belum berqurban dari umatnya. Orang yang belum berqurban berarti yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Sedangkan Mazhab Syafi’i, tidak membolehkannya.
Wallahu a’lam  bish shawab.


Abu Nafi’ Lukman Fauzi,Lc



Catatan Kaki :

(1) Al Wajiz : halaman 405, Shahih Fiqhis Sunnah : 2/366

(2) HR Ahmad : 17890,  Ibnu Majah : 3123

(3) Syarhul Mumti’ : 3/408

(4) HR Muslim : 1318

(5) HR At-Tirmidzi : 1497, Abu Dawud : 2802, Ibnu Majah : 3144

(6) HR Muslim : 1963

(7) HR. Al-Bukhari : 955, Muslim : 1971

(8) HR Ibnu Hibban : 1008, Al-Baihaqi : 9/295 , Ad-Daruquthni : 4/284. Al-Haitsami berkata : ”  Hadits  ini para perawinya kuat. ” dalam Majma’ Az-Zawaid  : 3/25
(9) HR. Abu Dawud : 2795
(10) HR. Muslim : 1977
(11) Shahih Fiqhis Sunnah : 2/376
(12) HR Abu Musa Al-Asfahani, dalam Al-Mughni li ibni Qudamah : 8/632
(13) HR. Al-Hakim : 2/390, Al-Baihaqi, Al-Albani mengatakan : hasan
(14) HR Muslim : 1317

editor : anonym07

ADs